Etnisitas Aneuk Jamee dalam Otonomi Daerah
Etnisitas
Aneuk Jamee dalam Otonomi Daerah
Dinamika Sosial Etnis Pada Era Otonomi Daerah
Narwoko
dan Suyanto (2004) dalam Fachruddin (2007:582) menyatakan masyarakat, boleh jadi
memang tidak pernah “diam” Masyarakat
selalu bergerak, berkembang dan berubah. Dinamika masyarakat ini terjadi bisa
karena faktor internal yang inheren melekat dalam “diri” masyarakat itu sendiri
dan bisa juga karena faktor lingkungan eksternal. Selanjutnya Fachruddin menyatakan perubahan sosial itu mencakup seluruh
aspek kehidupan sosial itu terus menerus berubah dengan kata lain perubahan itu
normal dan berlanjut dan setiap orang bersepakat bahwa kehidupan sosial
tidaklah statis melainkan selalu berubah secara dinamis yang mengartikan
perubahan sosial sebagai suatu perubahan penting dalam struktur sosial. Pola
pola perilaku dan sistim interaksi sosial termasuk didalamnya norma, nilai dan
fenomena kultural dalam komunitas lokal tertentu.
Indentitas bersama dapat dilihat dengan adanya suatu Solidaritas yang dipakai
pada keyakinan-keyakinan yang
sama mengenai sejarah asal usul mereka, berbicara dengan bahasa yang sama,
hidup di daerah geografis yang sama. mempertahankan ikatan terhadap keluarga
besar yang justru sering bertentangan Usaha – usaha untuk menegakkan
suatu Identitas bersama.
Sedangkan
menurut Perret (2011 : 15) Pada
kenyataannya individu tidak pernah berhenti membentuk dan membentuk kembali
identitas kelompoknya dan identitasnya sendiri dengan mengedepankan ciri-ciri
budaya yang memungkinkannya menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan situasi
tertentu. Selanjutnya Perret juga
menjelaskan kelompok dapat juga justru memecah diri dalam Sub kelompok
(berdasarkan etnik, partai politik, perkumpulan, kelompok agama dan lain-lain)
yang masing masing merajuk pada sejumlah ciri-ciri yang dinilai tepat atau
sebaliknya justru tergabung dalam kelompok lain, atas nama identitas etnis yang
lebih luas.
Batas-batas kelompok etnik memiliki fokus kajian menyangkut batas etnik yang menunjukkan kepada suatu kelompok bahkan
sifat-sifat budaya yang berbeda-beda, batas yang diperhatikan tentu saja
merupakan batas sosial, meskipun mungkin menyangkut juga batas wilayah. Bila
sebuah kelompok tetap mempertahankan identitasnya sementara anggotanya
berinteraksi dengan kelompok lain. Hal ini menandakan adanya suatu kriteria
untuk menentukan keanggotaannya dalam kelompok tersebut. Kelompok etnik bukan semata-mata ditentukan oleh wilayah
yang didudukinya, tetapi juga memperhatikan bagaimana kelompok dapat
mempertahankan keberadaannya terhadap kelompok lain. Piotr Sztompka
(2008;13) menerangkan untuk memahami masalah perubahan sosial yang kompleks itu diperlukan topologi
proses sosial. Topologinya dapat didasarkan atas empat kriteria:(1)Bentuk proses
sosial yang terjadi, (2) Hasilnya,(3) Kesadaran tentang proses social di
kalangan anggota masyarakat bersangkutan,(4) kekuatan yang menggerakkan proses itu. Selain itu perlu diperhatikan, (5)
tingkat realitas sosial ditempat proses sosial itu terjadi, dan (6) Jangka waktu berlangsungnya
proses sosial.
Proses sosial ini terjadi mungkin mengarah kepada tujuan tertentu atau mungkin juga tidak. Proses ini biasanya
tidak dapat diubah dan sering bersifat kumulatif. Setiap tahap yang berurutan
berbeda dari tahap sebelumnya dan merupakan pengaruh gabungan dari tahap
sebelumnya. Masing-masing tahap terdahulu
menyediakan syarat-syarat bagi tahap berikutnya. Gagasan tentang
proses yang tidak dapat diubah itu menekankan pada kenyataan bahwa dalam
kehidupan manusia terdapat kebutuhan yang tak dapat tidak dipenuhi. Marzali (
2007:213 ) mengatakan Indonesia adalah sebuah masyarakat Negara yang secara
Antropologi, terdiri atas lebih
dari 500 suku bangsa
(ethnic grup) dengan ciri-ciri bahasa dan kultur tersendiri bahkan
lebih unik lagi setiap suku bangsa di Indonesia dapat di katakan mempunyai satu
daerah asal, pengalaman sejarah dan nenek moyang tersendiri. Selanjutnya
Marzuli mengatakan dalam masyarakat majemuk tersebut setiap suku bangsa hidup
di tempat asalnya sendiri. Anggota-anggota satu suku bangsa bergaul secara sangat terbatas dengan anggota kelompok suku bangsa lain.
Terutama hanya untuk kepentingan perdagangan. Mereka tidak menjadi satu dan
tidak merasa satu. Di dalam masyarakat majemuk tidak ada satu kesatuan
nilai yang dimiliki bersama oleh seluruh anggota masyarakat. Keterkaitan antar
satu kelompok dengan kelompok yang lain terjadi karena ada satu sistim politik
yang di paksakan oleh Negara, militer dan polisi.
Soekanto ( 2003 : 343)
mengatakan perubahan dalam masyarakat itu bergerak, yang jelas, perubahan
bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan
faktor itu, mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang sama
sekali baru, namun mungkin pula bergerak ke arah sesuatu bentuk yang sudah ada
di dalam waktu lampau. Soekanto juga menjelaskan usaha-usaha masyarakat
Indonesia bergerak kearah modernisasi dalam pemerintahan, angkatan bersenjata,
pendidikan dan industrialisasi yang disertai dengan usaha-usaha untuk menemukan
kembali kepribadian Indonesia merupakan contoh dari kedua arah yang berlangsung
pada waktu yang sama dalam masyarakat kita.
Sedangkan Kim (1973) dalam Sugihen (2009 : 34)
mengatakan bahwa pembangunan merupakan suatu perubahan struktur dan organisasi
sosial untuk meningkatkan kebahagian manusia atau kesempatan hidup yang lebih
baik bagi seluruh anggota satu sistim sosial. Sugihen selanjutnya mengatakan
bahwa masyarakat dapat tumbuh dan
berkembang atau perilaku sosial dan politik bisa berubah, tapi sebenarnya
masyarakat itulah yang berkembang. Perubahan-perubahan lain dalam
institusi-institusi sosial itu hanyalah berupa aspek-aspek sosial perkembangan
masyarakat itu.
Otonomi yang yang telah
diperjuangkan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah, selain
berpengaruh terhadap tata pemerintahan juga berpengaruh kepada kehidupan sosial
budaya penduduk setempat. Otonomi
daerah yamg dilaksanakan di Indonesia merupakan penjabaran pemerintahan dari
sentralisasi menjadi desentralisasi, kewenangan sebelum otonomi daerah berupa
sentralisasi dan setelah otonomi daerah menjadi desentralisi. Bayu Surianingrat (1981: 3) membagi desentralisasi menjadi dua yaitu :
- Desentralisasi jabatan yaitu pemisahan kekuasaan dari atasan kepada bawahan
sehubungan dengan kepegawaian atau catatan dengan maksud untuk
meningkatkan kelancaran kerja.
- Desentralisasi kenegaraan penyerahan
kekuasaan untuk mengatur daerah dalam lingkungannya sebagai usaha untuk
mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara.
Selanjutnya Amrah Muslimin (1986 : 5) membagi desentralisasi menjadi tiga yakni
:
- Desentralisasi politik
- Desentralisasi fungsional
- Desentralisasi kebudayaan
Desentralisasi
politik berupa
desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional hanya terbatas pada
pengaturan jenis fungsi tertentu seperti pendidikan, pengadilan dan lain-lain.
Desentralisasi kebudayaan adalah pengakuan adanya hak pada golongan minoritas
dalam masyarakat untuk menyelenggarakan kebudayaan sendiri. Desentralisasi yang
menjadi perhatian utama dalam penelitian ini adalah desentralisasi kebudayaan.
Pemberian otonomi dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat membuat
kebijaksanaan sendiri yang sesuai dengan keinginan masyarakat, oleh karena itu
kepadanya selayaknya diberikan kewenangan untuk menyelesaikan masalahnya
sendiri.
Penyelenggaraan otonomi sangat ditentukan oleh
besarnya wewenang dan kekuasaan diserahkan pemerintahan pusat kepada
pemerintahan daerah melalui peraturan perundang-undangan. Konsep kekuasaan dari
wewenang itu berbeda, kekuasaan adalah hak penuh bagi pelaku untuk menentukan
apa yang harus dilakukan oleh pihak yang dikuasai, sedangkan secara rinci dan
bagaimana cara melakukannya. Esensi dari kekuasaan sebenarnya adalah kemampuan
mengadakan sanksi kepada pihak lain yang tidak mengikuti kehendak pihak yang ia dapat memberikan sanksi kepada
orang lain atau kelompok lain jika kelompok itu tidak mau melaksanakan apa yang
diinginkan. Dalam kaitan ini April Carter, ( 1985 : 27) menyebutkan ciri kekuasaan yaitu :
pertama, kemampuannya untuk menghasilkan kesetiaan yang bersifat suka rela, dan
kedua kemampuannya untuk memaksakan terhadap orang yang tidak patuh dan tidak
setia. Orang-orang yang menduduki pos-pos tertentu dalam pemerintahan otonomi
karena diseleksi dan memenuhi kriteria batasan kebutuhan umum kompetensi dan
mendapat legitemasi dari rakyat. Para elite pimpinan pada era otonomi adalah para pemenang pilkada
pemilihan Kepala Daerah untuk menjadi Gubernur pada Dearah Tingkat I Dan Bupati
pada Daerah Tingkat II.
Berdasarkan
pendapat para ahli tentang otonomi daerah dapat disimpulkan bahwa pada era
otonomi daerah adanya usaha-usaha setiap kelompok masyarakat suatu daerah untuk
memenangkan anggotanya untuk menjadikan kepala daerah pada daerahnya, untuk
menjadi penguasa daerah, maka timbullah usaha untuk mencari pemilik
sebanyak-banyaknya, baik dari golongan etnik sendiri maupun pada kelompok lain
dan ini tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
Sumber; Norpan Mufti, Enik Aneuk Jamee dalam otonomi daerah (Menemukan kembali Identitas diri) Tesis, Unimed 2013