Etnisitas Aneuk Jamee dalam Otonomi Daerah ( Bagian 1)

 


Otonomi daerah telah dan masih membuat banyak perubahan dalam pola kehidupan kemasyarakatan. Maka studi tentang identitas menjadi semakin menarik untuk di telaah. Otonomi tidak hanya berkaitan dengan sistem pemerintahan tetapi juga menyangkut nilai budaya, sosial dan politik. Salah satu yang terkena dampak langsung dari otonomi adalah menguatnya pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan etnisitas. Salah satunya adalah munculnya isu politik berdasarkan latar belakang etnis calon-calon yang akan maju sebagai kandidat pada masa pemilihan umum kepala daerah.

      Menurut Tilaar (2007. 14) Etnisitas adalah Identitas budaya, kepemilikan serta kebanggaan terhadap budaya sendiri dalam rangka kehidupan bersama dalam suatu ”politcal nation-state”  yang merupakan bentuk kehidupan negara modern dewasa ini. Dari pendapat tersebut menunjukkan kepada kita bahwa tidak selalu etnisitas berkaitan dengan konflik dalam masyarakat, baik horizontal maupun konflik vertikal. Ternyata etnisitas mengandung nilai nilai positif di dalam kehidupan modern asal saja potensi itu diarahkan secara benar. Keteruraian etnisitas di dalam masyarakat modern terutama di negara sedang berkembang berkaitan erat dengan kepemimpinan baik formal maupun informal.

    Dalam masyarakat berkembang yang kebanyakan masih bersifat paternalistik, peranan pemimpin sangat besar. Etnisitas dapat dijadikan alat atau kendaraan bagi pemimpin yang mengumpulkan kekuasaan untuk dirinya sendiri. Selain itu  bagi pemimpin yang mempunyai misi untuk menciptakan masyarakat yang aman bagi upaya untuk mensejahterakan pengikutnya.

   Tilaar juga menjelaskan etnisitas ternyata tidak selalu berarti mempunyai konotasi yang negatif. Etnisitas dewasa ini dikaitkan dengan konflik bahkan perang. Namun demikian etnisitas berkaitan sangat erat dengan lahirnya demokrasi diikuti dengan politik desentralisasi yang memberi hak kepada daerah-daerah tertentu untuk memperoleh kebebasan atau memperoleh pengakuan politik.

   Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa etnisitas pada satu sisi dapat menjadi sumber  konflik,  tetapi mempunyai potensi yang dapat  menjadi pemersatu dalam kebinekaan  Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satunya adalah etnik Aneuk Jamee yang terdapat di daerah Aceh bagian Selatan, walaupun secara bahasa berbeda dengan suku Aceh tetapi dapat hidup dengan damai berbaur dengan etnik-etnik lain di daerah Aceh tanpa ada konflik.

   Etnik  Aneuk Jamee adalah salah satu etnik yang terdapat di Provinsi Aceh, etnik ini umumnya mendiami daerah pantai Aceh bagian Selatan. Menurut Ahmad (1992:182) Penduduk dikawasan ini datang dari berbagai arah termasuk dari Nias, Pariaman, Natal, Barus, Gayo dan Aceh Besar, mayoritas adalah pendatang dari Sumatera Barat. Maka wajarlah pola bahasanya  terpengaruh oleh bahasa Minang.  Hal ini di tandai pada abad ke XI dan XII (Amran 1981:110) buah lada yang ditanam di Sumatera Barat diangkut dahulu ke Aceh dan baru  diperdagangkan dengan bangsa asing. Hal ini menandakan sudah sejak lama Minangkabau sudah berhubungan dengan Aceh.

  Etnik Aneuk Jamee sekarang ini mendiami beberapa kabupaten yang terdiri dari Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya dan sebagian  Aceh Barat. Etnik Aneuk Jamee yang ada di Aceh Selatan berbaur dengan etnis lainnya dalam kehidupan kemasyarakatan dan  proses adaptasi dilingkungan masing-masing. Mereka beragama Islam dan mendiami di wilayah tepi pantai dan bermata pencaharian nelayan dan petani. Di era kemerdekaan hingga sekarang sebagian etnik Aneuk Jamee ada juga menjadi pegawai negeri, baik di Kabupaten Aceh Selatan maupun di Kabupaten lainnya.  Masyarakat  etnik Aneuk Jamee juga memiliki mobilitas yang tinggi merantau ke daerah lain,  baik menjadi PNS,  pedagang dan pengusaha menurut porsinya masing-masing.

   Dalam proses adaptasi etnik Aneuk Jamee   berbaur dengan etnik Aceh, proses  ini dapat tercermin dari banyaknya etnik  Aneuk Jamee yang mahir menggunakan bahasa Aceh dan etnik Aceh juga dapat berbahasa Aneuk Jamee, sehingga dalam berkomunikasi antar kedua etnik ini terjadi percampuran dari dua bahasa atau bilingualisme.  Di era sekarang ini banyak dijumpai etnik Aneuk Jamee yang tidak dapat lagi berbahasa Aneuk Jamee karena sudah terbiasa bergaul dengan menggunakan bahasa Aceh di dalam kehidupan sehari-hari.

   Munculnya sistem pemerintahan otonomi daerah, antara lain ditandai dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah, baik gubernur, bupati dan walikota. Sejak saat itu muncul kecendrungan primordialisme yaitu munculnya rasa identitas kesukuan kembali berdasarkan etnik.  Kesadaran  ini muncul  dalam pelaksanaan otonomi daerah seperti pelaksanaan pilkada. Seorang calon yang akan maju sebagai kandidat di bantu oleh tim sukses mencari dukungan politik pada pemilihan yang cenderung memilih calon yang memiliki kedekatan secara etnik yang memiliki kesamaan unsure-unsur budaya.  Setelah terpilih seorang kepala daerah, maka kepala daerah yang terpilih itu akan memilih para pembantunya, juga kecenderungan dari kalangannya  yang mempunyai kesamaan unsur budaya yang tampak baik dari segi bahasa dan budaya.

     Beranjak dari dinamika sosial ini, maka mulailah ada usaha untuk menggali kembali identitas berdasarkan etnik. Demikian juga dengan etnik Aneuk Jamee untuk mencari identitas diri. Terkait dengan tesis penelitian ini penulis menggambarkan penemuan kembali identitas etnik Aneuk Jamee pada era otonomi daerah.   


       Sumber:

       Norpan Mufti. Etnik Aneuk Jamee Dalam Otonomi Daerah (Menemukan kembali Identitas Diri)

      Tesis,  Unimed 2013.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url